
Cikarang Pusat, 18 Juli 2025 – bekasikepo.com – Puncak peringatan Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) ke-78 yang digelar Pemerintah Kabupaten Bekasi melalui Dinas Koperasi dan UKM berlangsung semarak di Plaza Pemkab, Cikarang Pusat. Namun di balik kemeriahan tersebut, suara kritik dan dorongan perubahan fundamental untuk gerakan koperasi lokal mulai menggema.
Acara yang diwarnai dengan lomba tumpeng dan parade koperasi ini memang menunjukkan antusiasme pelaku koperasi, namun pertanyaan besar muncul: apakah koperasi yang dibentuk benar-benar akan hidup dan bermanfaat bagi rakyat? Atau hanya sebatas simbol dan formalitas?
Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Bekasi, Ida Farida, menyatakan bahwa seluruh acara digelar atas swadaya koperasi dan merupakan bentuk kebersamaan.
“Alhamdulillah seluruh penyelenggaraan dilakukan secara swadaya oleh pekerja koperasi. Totalitas partisipasi mereka luar biasa,” ujarnya.
Namun di balik pujian tersebut, muncul kekhawatiran lama: koperasi di tingkat desa dan kelurahan seringkali mati suri, tidak berfungsi secara nyata, atau hanya aktif di atas kertas demi memenuhi indikator program.
Koperasi Merah Putih: Gagasan Mulia, Tapi Harus Dikawal Ketat
Salah satu program unggulan yang disorot dalam acara ini adalah pembentukan Koperasi Merah Putih, yang diklaim sudah terbentuk 100 persen di seluruh desa dan kelurahan se-Kabupaten Bekasi. Pemerintah bahkan menjanjikan peluncuran dua koperasi percontohan di Kedungwaringin dan Lambangsari, Tambun Selatan.
Namun pertanyaan publik muncul: berapa koperasi yang benar-benar aktif secara operasional? Apakah ada pengawasan ketat terhadap manajemen dan keuangan koperasi-koperasi tersebut?
“Jangan hanya bangga koperasi sudah terbentuk 100 persen. Pertanyaannya: berapa yang hidup? Mana yang sudah produktif? Mana yang hanya papan nama?” ujar H. Moris, pengusaha dan tokoh masyarakat Pasirsari, dengan nada tegas.
Ia mengapresiasi niat Pemkab, tapi menilai pendekatan saat ini masih banyak mengulang pola lama yang terbukti gagal: top-down, penuh seremonial, minim pengawasan, dan rentan disalahgunakan.
“Pembentukan koperasi itu penting, tapi yang jauh lebih penting adalah pendampingan nyata, transparansi pengelolaan, dan hasil konkret. Jangan lagi masyarakat dijadikan objek proyek,” kritiknya.
Dana Bergulir Harus Diawasi, Bukan Ajang Bancakan
Pemerintah menyebut koperasi bisa mengakses pembiayaan dari Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dengan bunga lunak. Bahkan ada koperasi yang disebut telah mengakses dana miliaran rupiah. Namun tanpa pengawasan ketat, ini bisa menjadi ladang subur penyimpangan dan kredit macet, yang pada akhirnya membebani negara.
“LPDB harus diawasi ketat. Jangan sampai jadi bancakan kelompok-kelompok tertentu. Harus jelas siapa yang menerima, bagaimana pemanfaatannya, dan bagaimana pengembaliannya,” tegas H. Moris.
Koperasi Harus Jadi Senjata Ekonomi Rakyat, Bukan Sekadar Program Pemerintah
Koperasi adalah instrumen ekonomi kerakyatan yang seharusnya menjadi benteng rakyat dari dominasi korporasi dan kapitalisme. Namun selama ini, banyak koperasi justru menjadi sarang praktik manipulatif, tidak profesional, bahkan dimanfaatkan elite lokal untuk kepentingan politik atau bisnis sesaat.
Pemerintah harus keluar dari kebiasaan lama yang hanya mengukur keberhasilan dari jumlah koperasi yang terbentuk, bukan dari kualitas, dampak, dan keberlanjutan.
“Kita butuh koperasi yang bisa menyaingi minimarket waralaba, yang bisa mengelola pupuk dan bahan pokok, bukan koperasi ‘asal ada’,” tambah Moris.
Semangat Harkopnas jangan berhenti di spanduk dan lomba tumpeng. Jika koperasi ingin benar-benar hidup dan berkontribusi untuk bangsa, maka perlu reformasi menyeluruh: dari manajemen, pelatihan, hingga sistem pengawasan. Rakyat butuh koperasi yang efektif, transparan, dan berani bersaing di pasar, bukan hanya sebagai pelengkap laporan tahunan pemerintah daerah.