
Jakarta, 10 Juni 2025 — bekasikepo.com – Presiden Prabowo Subianto memimpin rapat terbatas bersama jajaran Menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, Jakarta, membahas kesiapan pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa. Proyek ini digadang-gadang menjadi solusi besar pemerintah untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, khususnya naiknya permukaan air laut dan abrasi.
Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya, menyebut bahwa proyek ini akan memberikan manfaat strategis dalam jangka panjang. “Pembentukan tanggul ini diharapkan dapat mencegah air rob, meredam penurunan permukaan tanah, serta menjadi reservoir air bersih,” ujar Teddy dalam keterangannya.
Namun, di balik manfaat yang dijanjikan, muncul kekhawatiran dari kalangan pemerhati lingkungan hidup dan masyarakat pesisir mengenai dampak ekologis dan sosial dari proyek berskala besar ini.
Suara Alam: Kekhawatiran dari Aktivis
Sofyan, Sekretaris Jenderal Jurnalis Pecinta Alam dan Peduli Bencana (JURPALA) Indonesia, menyampaikan keprihatinan serius terhadap potensi gangguan ekosistem laut akibat pembangunan tanggul tersebut.
“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi proyek sebesar ini harus benar-benar memperhatikan keseimbangan ekologi. Di laut utara Jawa terdapat terumbu karang, padang lamun, dan area pemijahan ikan yang sangat rentan terganggu oleh aktivitas konstruksi,” tegas Sofyan.
Menurutnya, kawasan pantai bukan sekadar zona infrastruktur, melainkan ruang hidup bagi jutaan makhluk laut serta komunitas manusia, khususnya para nelayan kecil yang hidup bergantung pada laut. “Nelayan di wilayah pesisir bukan hanya pencari ikan, mereka penjaga laut. Jika laut mereka terganggu, maka rusak pula rantai kehidupan yang sudah bertahan secara turun-temurun,” tambahnya.

Ancaman Sosial dan Ekologis
Sofyan mengungkapkan bahwa JURPALA menerima banyak laporan dari komunitas nelayan di Demak, Pekalongan, hingga Subang, yang khawatir akan kehilangan akses ke wilayah tangkap mereka. Selain itu, perubahan arus laut akibat struktur tanggul berisiko menyebabkan sedimentasi atau bahkan kerusakan terumbu karang yang selama ini belum terpetakan secara utuh.
“Sudah banyak kasus di mana proyek tanggul justru mempercepat kerusakan ekosistem karena tidak dilakukan dengan pendekatan berbasis lingkungan. Jangan sampai ini jadi bencana ekologis yang dibungkus dengan narasi pembangunan,” ujarnya.
Seruan Transparansi dan Partisipasi
JURPALA menyerukan agar pemerintah melibatkan masyarakat sipil, pakar kelautan, dan jurnalis lingkungan dalam proses perencanaan dan pengawasan proyek. Menurut Sofyan, keterlibatan publik adalah kunci untuk memastikan bahwa proyek ini tidak merugikan kelompok rentan.
“Kami minta ada publikasi terbuka terkait kajian AMDAL, pemetaan risiko lingkungan, dan kompensasi bagi masyarakat terdampak. Ini bukan sekadar proyek infrastruktur, ini proyek kehidupan,” tandasnya.
Jalan Tengah: Pembangunan Berbasis Alam
Sebagai alternatif, Sofyan menyarankan pemerintah mengombinasikan pendekatan rekayasa teknis dengan pendekatan berbasis alam (nature-based solutions), seperti restorasi hutan mangrove, pemulihan padang lamun, serta penguatan benteng alami dari sedimen organik.
“Infrastruktur itu penting, tapi jangan sampai kita mengabaikan solusi alami yang jauh lebih murah, berkelanjutan, dan terbukti efektif dalam jangka panjang,” katanya.
Komitmen Pemerintah
Pemerintah menyatakan akan memperhatikan seluruh aspek lingkungan dalam pembangunan Giant Sea Wall. Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya menyebutkan bahwa dialog dengan berbagai pihak akan terus dilakukan agar proyek ini benar-benar berdampak positif dan minim risiko jangka panjang.
Namun, masyarakat kini menantikan langkah konkret: transparansi dokumen, keterlibatan masyarakat lokal, dan jaminan perlindungan terhadap ekosistem yang tersisa.
Menjaga Masa Depan dari Tepi Pantai
Proyek Giant Sea Wall menjadi simbol dari pertarungan besar antara kebutuhan pembangunan dan pelestarian lingkungan. Di tengah krisis iklim global, Indonesia ditantang bukan hanya membangun infrastruktur yang kokoh, tetapi juga menjaga agar alam tetap punya ruang bernapas.
“Jika kita ingin menyelamatkan pantai dari air laut, mari kita pastikan kita tidak menenggelamkan kehidupan yang selama ini menjaganya,” pungkas Sofyan.