
Bekasi – bekasikepo.com – Fenomena maraknya bangunan liar di atas aliran anak sungai di Kecamatan Tambelang, Kabupaten Bekasi, menjadi bukti nyata lemahnya pengawasan dan pembiaran sistemik yang terjadi selama bertahun-tahun. Kritik tajam ini dilontarkan oleh Gilang Bayu Nughara, S.H., pemerhati lingkungan sekaligus Ketua Jurnalis Pecinta Alam dan Peduli Bencana (JURPALA Indonesia), yang menilai pemerintah daerah telah gagal menjaga aset ekologis vital.

“Pemerintah daerah, baik kabupaten maupun kecamatan, harus bertanggung jawab karena lalai menjaga aset ekologis yang sangat vital,” tegas Gilang. Menurutnya, jika hal ini terus dibiarkan, bukan hanya krisis irigasi yang akan terjadi, tetapi juga kehancuran sistem ekologis yang dapat memicu bencana lebih besar di masa depan.
Akar permasalahan yang disorot adalah praktik lama warga yang mendirikan bangunan permanen di atas jalur air. Camat Tambelang, Cecep Supriyadi, mengungkapkan bahwa kondisi ini menyebabkan penyempitan hingga penyumbatan saluran irigasi. Padahal, sekitar 80 persen wilayah Tambelang merupakan lahan pertanian aktif yang sangat bergantung pada pasokan air.
“Banyak anak sungai yang seharusnya menjadi jalur distribusi air untuk pertanian justru dibetonisasi dan dibangun permanen oleh masyarakat. Ini sangat kami sayangkan karena berdampak langsung terhadap sistem irigasi,” ujar Cecep pada Kamis (10/07/2025). Dampak dari praktik yang dibiarkan ini kini semakin terasa, khususnya saat musim tanam tiba dan mengancam produktivitas pertanian.
Menyikapi kondisi tersebut, pihak Kecamatan Tambelang telah melakukan inventarisasi dan melaporkan titik-titik bangunan liar kepada instansi teknis di tingkat kabupaten. Surat resmi telah dilayangkan kepada Satpol PP dan Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Bina Konstruksi (DSDABMBK) Kabupaten Bekasi untuk meminta langkah penertiban dan normalisasi.
“Kami terus lakukan sosialisasi dan imbauan agar warga tidak memanfaatkan sempadan sungai untuk bangunan. Tapi penindakan tetap butuh dukungan lintas perangkat daerah,” jelas Cecep, mengakui keterbatasan wewenang kecamatan dalam penindakan teknis.
Sementara itu, Gilang dari JURPALA Indonesia mendesak adanya aksi yang lebih dari sekadar imbauan. “Harus ada aksi nyata, termasuk pembongkaran bangunan liar, rehabilitasi ekosistem sungai, dan edukasi berbasis lingkungan hidup di tingkat akar rumput,” pungkasnya, menyerukan perlunya penegakan hukum yang tegas untuk mencegah krisis lingkungan yang lebih parah.