Bekasikepo.com – KABUPATEN BEKASI — Krisis lahan kritis di Kabupaten Bekasi memasuki tahap yang semakin mengkhawatirkan. Total 14.000 hektare lahan telah mengalami degradasi, termasuk 167 hektare yang kini berstatus sangat kritis. Kondisi ini mendorong Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bekasi mengambil langkah strategis dengan mengajak para penggiat lingkungan duduk satu meja untuk pertama kalinya setelah tiga tahun.
Pertemuan berlangsung di kantor DLH pada Selasa (9/12/2025) dan dihadiri 12 aktivis lingkungan dari berbagai komunitas. Pertemuan ini disebut sebagai momentum penting untuk membangun kembali sinergi dalam menghadapi persoalan ekologi yang semakin mendesak.
Kepala DLH Kabupaten Bekasi, Doni Sirait, secara terbuka menyampaikan bahwa pemerintah tidak mungkin bekerja sendirian dalam menangani kerusakan yang terus meluas, terutama di tiga titik paling rentan: Bojongmangu, Cibarusah, dan Setu.
“Ketika bicara lahan kritis dan kerusakan lingkungan, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Kita harus menggandeng masyarakat dan para penggiat lingkungan,” ujar Doni.
Zona-zona yang disebutkan merupakan wilayah yang mengalami penyusutan vegetasi, ketidakstabilan tanah, dan kerentanan banjir, khususnya di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sempat dipenuhi bangunan liar.
Dalam forum tersebut, Doni mengungkapkan bahwa penanganan lahan kritis kini terhambat oleh persoalan anggaran. Efisiensi yang dilakukan setelah ditemukannya kebocoran dalam pelaksanaan Perda menyebabkan pagu dana menurun drastis menjadi Rp 15 miliar, memaksa sejumlah program penting tertunda.
“Kondisi anggaran ini membuat banyak kegiatan tidak bisa berjalan. Karena itu, masukan masyarakat dan dukungan sektor usaha menjadi sangat penting,” tegasnya.
Dalam sesi diskusi teknis yang dipimpin H. Gusman, DLH memaparkan rencana penanaman pohon buah sebagai bagian dari strategi pemulihan lahan kritis.
Namun aktivis senior Jurpala Indonesia, Sofyan, mengingatkan bahwa program pemulihan tidak akan efektif tanpa kejelasan hak pengelolaan lahan.
“Kita mendukung penanaman pohon buah, apalagi bisa memberi nilai ekonomi. Tapi pemerintah harus menetapkan hak pengelolaan lahan, supaya kegiatan para penggiat lingkungan tidak menimbulkan masalah hukum,” kata Sofyan.
Ia juga menambahkan bahwa lahan kritis perlu dilengkapi dengan sistem resapan air dan menyarankan keterlibatan aktif dari Dinas Pendidikan untuk menggerakkan sekolah-sekolah dalam program peduli lingkungan.
DLH menegaskan bahwa masukan dari para aktivis menjadi perhatian utama untuk penyusunan rencana kerja ke depan. Langkah awal yang akan dilakukan adalah pemetaan ulang lahan kritis, termasuk identifikasi dampak dan tingkat urgensinya.
Selain itu, DLH akan memanggil sejumlah perusahaan untuk berkolaborasi, terutama dalam skema dukungan rehabilitasi lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial mereka.
Krisis lahan kritis di Kabupaten Bekasi bukan sekadar isu lingkungan, tetapi ancaman jangka panjang bagi ketahanan air, kualitas udara, dan masa depan ruang hidup masyarakat. Upaya bersama menjadi kunci agar akar masalah ini dapat diselesaikan, bukan sekadar ditambal.
DLH berharap sinergi baru antara pemerintah, aktivis, masyarakat, dan dunia usaha dapat menjadi titik balik mengatasi kerusakan lahan yang terus meluas.
Redaksi Bekasikepo.com



